SUARAJATIM — Arah kebijakan energi Indonesia kini semakin menegas menuju masa depan rendah karbon. Dalam forum BloombergNEF di Jakarta, Senin (6/10), Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, memaparkan langkah nyata pemerintah dalam mempercepat transisi energi bersih melalui pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
“Presiden Prabowo telah menegaskan kembali posisi resmi pemerintah Indonesia, yaitu tetap menjadi bagian dari Paris Agreement. Kita berkomitmen mencapai Net Zero Emissions paling lambat pada tahun 2060, namun kita berupaya mempercepat target tersebut agar bisa tercapai lebih awal, antara 2050 hingga 2060,” ujar Hashim.
Langkah ini menjadi pengingat bahwa Indonesia tak hanya menjadi peserta, tetapi juga pelaku penting dalam menurunkan emisi karbon global. Hashim menambahkan, pemerintah telah merancang dokumen energi nasional yang menempatkan EBT sebagai tulang punggung pembangkit listrik masa depan.
“Pemerintah menargetkan energi terbarukan mencapai 75 persen dari rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) hingga 2040,” ucapnya.
Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menjelaskan bahwa perusahaan listrik negara telah menyiapkan peta jalan ambisius untuk memperkuat kapasitas energi hijau nasional.
“Hingga tahun 2040, PLN akan menambah kapasitas energi sebesar 100 Gigawatt (GW) dengan 75 persen berbasis EBT. Kami tengah menyiapkan green-enabling super grid, sistem jaringan hijau nasional yang akan menghubungkan Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi,” ungkap Darmawan.
Infrastruktur tersebut akan dilengkapi transmisi hijau sepanjang 70 ribu kilometer sirkuit (kms), yang memungkinkan energi dari wilayah terpencil dapat tersalurkan ke pusat permintaan di perkotaan.
Lebih dari sekadar proyek kelistrikan, inisiatif ini juga diharapkan menjadi fondasi ekonomi hijau yang mendorong terciptanya lapangan kerja baru, investasi ramah lingkungan, serta pengurangan kemiskinan.
“Kita akan beralih dari energi impor menuju energi domestik, dari energi mahal menuju energi yang terjangkau. Dari situ akan lahir lapangan kerja baru, investasi hijau, dan pengurangan kemiskinan, di saat yang bersamaan kita juga menurunkan emisi karbon,” papar Darmawan.
Namun, Darmawan menyadari bahwa visi besar tersebut tidak bisa diwujudkan sendiri. Ia menekankan pentingnya kerja sama lintas negara untuk mempercepat pencapaian target Net Zero Emissions.
“Tidak ada satu negara pun yang bisa menghadapi krisis iklim sendirian. PLN siap bekerja sama dengan semua mitra internasional dalam investasi, transfer knowledge, hingga pengembangan teknologi,” tegasnya.
Salah satu mitra strategis tersebut adalah JERA Co., Inc. dari Jepang. CEO JERA Asia, Izumi Kai, menyebut pihaknya siap bersinergi bersama PLN dan para pemangku kepentingan di Indonesia untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
“Menuju target net zero 2060. Kami bekerja bersama mitra konsorsium serta berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan utama di Indonesia, termasuk PLN,” ungkap Izumi.
Ia menambahkan, bahwa pendekatan holistik dibutuhkan untuk menghadapi kompleksitas transisi energi. “Satu hal yang jelas adalah bahwa Indonesia membutuhkan pendekatan all of the above — semua solusi harus dimanfaatkan secara seimbang,” tutupnya.
Dengan berbagai inisiatif tersebut, Indonesia menempatkan dirinya bukan hanya sebagai negara berkembang yang mengikuti arus, tetapi sebagai pemain aktif dalam membentuk masa depan energi bersih dunia.
![]() |
Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan posisi Indonesia dalam Paris Agreement RI untuk mencapai Net Zero Emissions di tahun 2060 atau lebih cepat melalui peningkatan utilisasi energi baru terbarukan (EBT) di tanah air pada BloombergNEF Forum di Jakarta, Senin (6/10). |
Langkah ini menjadi pengingat bahwa Indonesia tak hanya menjadi peserta, tetapi juga pelaku penting dalam menurunkan emisi karbon global. Hashim menambahkan, pemerintah telah merancang dokumen energi nasional yang menempatkan EBT sebagai tulang punggung pembangkit listrik masa depan.
“Pemerintah menargetkan energi terbarukan mencapai 75 persen dari rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) hingga 2040,” ucapnya.
Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menjelaskan bahwa perusahaan listrik negara telah menyiapkan peta jalan ambisius untuk memperkuat kapasitas energi hijau nasional.
“Hingga tahun 2040, PLN akan menambah kapasitas energi sebesar 100 Gigawatt (GW) dengan 75 persen berbasis EBT. Kami tengah menyiapkan green-enabling super grid, sistem jaringan hijau nasional yang akan menghubungkan Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi,” ungkap Darmawan.
Infrastruktur tersebut akan dilengkapi transmisi hijau sepanjang 70 ribu kilometer sirkuit (kms), yang memungkinkan energi dari wilayah terpencil dapat tersalurkan ke pusat permintaan di perkotaan.
Lebih dari sekadar proyek kelistrikan, inisiatif ini juga diharapkan menjadi fondasi ekonomi hijau yang mendorong terciptanya lapangan kerja baru, investasi ramah lingkungan, serta pengurangan kemiskinan.
“Kita akan beralih dari energi impor menuju energi domestik, dari energi mahal menuju energi yang terjangkau. Dari situ akan lahir lapangan kerja baru, investasi hijau, dan pengurangan kemiskinan, di saat yang bersamaan kita juga menurunkan emisi karbon,” papar Darmawan.
Namun, Darmawan menyadari bahwa visi besar tersebut tidak bisa diwujudkan sendiri. Ia menekankan pentingnya kerja sama lintas negara untuk mempercepat pencapaian target Net Zero Emissions.
“Tidak ada satu negara pun yang bisa menghadapi krisis iklim sendirian. PLN siap bekerja sama dengan semua mitra internasional dalam investasi, transfer knowledge, hingga pengembangan teknologi,” tegasnya.
Salah satu mitra strategis tersebut adalah JERA Co., Inc. dari Jepang. CEO JERA Asia, Izumi Kai, menyebut pihaknya siap bersinergi bersama PLN dan para pemangku kepentingan di Indonesia untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
“Menuju target net zero 2060. Kami bekerja bersama mitra konsorsium serta berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan utama di Indonesia, termasuk PLN,” ungkap Izumi.
Ia menambahkan, bahwa pendekatan holistik dibutuhkan untuk menghadapi kompleksitas transisi energi. “Satu hal yang jelas adalah bahwa Indonesia membutuhkan pendekatan all of the above — semua solusi harus dimanfaatkan secara seimbang,” tutupnya.
Dengan berbagai inisiatif tersebut, Indonesia menempatkan dirinya bukan hanya sebagai negara berkembang yang mengikuti arus, tetapi sebagai pemain aktif dalam membentuk masa depan energi bersih dunia.